Jumat, 21 Januari 2011

Pilihlah Karena Agamanya

*PILIHLAH KARENA AGAMANYA*
++++++++++++++++++++++++++++++++++
Seorang teman meminta nasehat. Ia sedang dilanda kebingungan. Ia harus
memilih salah satu dari dua wanita yang datang dalam kehidupannya. Salah
satunya akan dijadikannya pasangan hidupnya untuk selamanya. Wanita
pertama adalah wanita yang berkulit putih, mempesona dan memiliki daya
pikat terhadap laki-laki, namun pemahaman agamanya agak kurang, juga
tidak berjilbab. Ia sudah mengenalnya lama sekali. Seorang lagi, wanita
yang baru diperkenalkan oleh istri kawannya. Wanita yang kedua ini
adalah wanita yang sederhana, tidak cantik tetapi agama menjadi tolak
ukurnya, senantiasa menjaga dirinya, menutup seluruh auratnya dan hanya
akan memberikan yang terbaik bagi suaminya kelak.

Di tengah kebingungan, ia meminta pendapatnya kepada saya. Maka saya
hanya menjawab singkat, "Pilihlah karena agamanya."

Dia bertanya lagi, " Kenapa ?"

Saya hanya menjelaskan, "Agama Islam penuh dengan tuntunan. Salah
satunya Islam mengajarkan seseorang yang akan menjadi pasangan hidup
kita harus dipilih karena ketaatannya pada agamanya. Ini berlaku untuk
memilih istri atau sebaliknya memilih suami."

Sayapun menjelaskan kembali, " Kecantikan, kekayaan, keturunan adalah
hal yang tidak pernah abadi di dunia. Tetapi agama adalah abadi. Agama
akan menjaga agar kita selalu berusaha berjalan di jalan yang lurus.
Bahkan agama kelak akan dipertimbangkan di yaumil akhir, seseorang masuk
sebagai barisan Rasulullah atau masuk dalam neraka jahanam."

Di tengah dunia yang makin hedonis, mungkin makin sedikit orang yang
memilih calon istri dari agamanya. Bahkan Erich Formm dalam bukunya
"Seni Mencintai" bercerita bahwa liberalisme, kapitalisme telah membuat
manusia tersudut pada apa yang disebut bendawi. Cobalah, kita tanya, apa
kreteria wanita yang cantik kepada teman-teman anda ? Jika mereka
mengusung paham kebendaan, ia akan menjawab wanita yang cantik adalah
wanita yang penuh pesona, kulitnya halus, parasnya cantik, tinggi
semampai dan seterusnya. Jarang dijawab wanita yang cantik adalah wanita
dengan akhlaq yang mulia, yang mengingatkan bahwa dunia hanya tempat
sementara, yang mengajak senantiasa memenuhi panggilan jiwanya akan
cinta yang sesungguhnya yaitu cinta kepada Rosul dan Allah SWT.

Kebendaan inilah yang banyak menyebabkan para suami bangga dengan istri
yang cantik dan dengan bangganya akan mengatakan kepada teman-temannya,
" Cantikkah istriku ?" Seperti bangganya seorang wanita dengan calon
suami yang kaya raya. Keduanya memandang bahwa dari apa yang dinamakan
kebendaan. Kecantikan adalah ukuran bendawi dan kekayaan adalah juga
ukuran bendawi.

Padahal kalau cinta tumbuh karena kebendaan, ia akan cepat usang, cepat
rusak. Lihatlah orang-orang yang berpaham kebendaan, akhirnya mencari
wanita-wanita yang cantik setelah istrinya sudah tidak lagi cantik
karena bertambah usianya. Begitupun para istri yang meninggalkan
suaminya ketika sang suami sudah tidak kaya lagi. Tidak ada yang bisa
dibanggakannya lagi, pikirnya.

Cinta adalah ruh. Cinta adalah abadi, selama yang Maha Abadi menjadi
sandarannya. Tidakkah kita pernah membayangkan, ketika suami istri
kelak akan mati maka cintanya akan tetap dibawanya hingga ke yaumil
akhir. Bertemu kembali di surga milik Allah. Bersemi kembali, menjelma
menjadi sepasang kekasih yang abadi.

Itulah mengapa saya menyarankan teman saya untuk memilih calon istri
karena agamanya. Karena hanya alasan itulah yang membuat cinta selalu
menjadi abadi. Bahkan kelak di yaumil akhir.

Sumber: milis

Pendamping yang diharapkan

Asalkan Ada Abang ..
  
Dari Temen ..
Mungkin .. ada yang punya pengalaman yang sama kayak temenku ini .. :D
Sambil baca ini .. enak tuy dengerin Ada Band "Karena Wanita (Ingin Dimengerti)" ..

Asalkan Ada Abang...Publikasi: 27/02/2004 11:16 WIB
eramuslim - Hmmm… kupandangi Al Quran bersampul kuning keemasan itu. Warnanya tak pudar walaupun telah sepuluh tahun ia tinggal di rak buku ruang tamuku. Lembarannya tak cacat sedikitpun walau sering kubaca. Dan satu kali dalam satu tahun aku memandangi takjub maharku itu seperti ini...

Suamiku baru saja pulang kerja. Dia tampak lelah. Kusiapkan air hangat untuknya sore ini. Makanan dan minuman kesukaannya telah kuhidangkan di meja makan lebih awal. Sprei tempat tidur telah kuganti. Kordin telah kucuci dan kupasang lagi. Seluruh bagian rumah telah kubersihkan.

”Kok senyum aja sih dari tadi?” suamiku menegurku. Aku hanya bisa tertawa kecil. ”Nggak pa pa. Pingin sedekah aja. He he...”

Suamiku membalas seyumanku dan pergi mandi.

Saat ditutup, kuamati pintu kamar mandi itu... dan sekeliling rumah ini. Rumah kontrakan penuh kenangan. Sebentar lagi rumah ini akan menjadi milik kami karena pemilik sebenarnya akan pindah ke luar kota dan menjualnya pada kami. Suamiku pun bekerja lembur akhir-akhir ini untuk melunasinya.

Malam ini aku dan suamiku menikmati makan malam sebelum isya. Kebetulan anak-anak sedang liburan di rumah neneknya. Rumah jadi terasa sepi.

Terdengar suara motor berderu melewati rumah kami sekali waktu. Terdengar pula suara televisi tetangga sebelah rumah dan sesekali tawa mereka.

Dari seberang meja makan kupandangi suamiku itu. Baju koko telah dipakainya. Dia telah siap untuk berangkat ke masjid. Wajahnya tak berubah, masih seperti itu... kalem. Hanya jenggotnya saja yang kian lebat. Hmmm... dia masih dengan pendiriannya. Subhanallah...

Pulang suamiku dari masjid, aku baru saja selesai mencuci piring.

”Abang baru inget. Sepuluh tahun lalu abang nikahin kamu ya, dek? Pantes dari tadi seyum aja. Ngerayain yang kayak gitu2 nggak level kan, dek?! Nah, mendingan pijetin abang nih, abang capek banget hari ini.”

Ha ha ha... masih. Dari dulu emang manja bapak ini.

Tapi tidak saat dia datang ke rumahku sepuluh tahun lalu. Aku hanya bisa mendengar percakapan hangat itu dari balik pintu kamarku. Ayahku meragukannya. Yaaah, aku rasa adalah hal yang wajar bila setiap orang tua ingin anaknya hidup berkecukupan. Dan yaaah, memang untuk hidup di jaman sekarang, pekerjaan suamiku yang tidak tetap mungkin tidak bisa mencukupi hidup kami nanti. Maklumlah, baru lulus kuliah. Tapi suamiku percaya, insya Allah, Allah akan memudahkannya.

Sempat kututup telingaku saat suara ayahku mendominasi percakapan hari itu.

Aku hampir saja menangis. Aku tak mau ta’arufku sia-sia. Dan untuk tidak menjadi isteri seorang yang shalih seperti dia adalah suatu kerugian bagiku. Namun tak lama ibuku datang ke kamarku dengan terseyum dan menanyakan jawabanku. Rupanya aku menutup telingaku terlalu lama hingga aku tak menyadari bahwa saat itu suamiku tengah memberi pengertian pada ayahku dan akhirnya meyakinkan beliau.

Seminggu pertama aku dan suamiku tinggal di rumah orang tuaku. Karena rumah yang dikontrak suamiku baru bisa dipergunakan setelah seminggu itu, ya rumah ini. Selama seminggu itu dia sibuk sekali. Entah apa saja yang dikerjakannya. Dan setelah minggu itu berlalu, ada rasa khawatir di wajahnya saat ia mengatakan padaku, ”Dek, di rumah itu... nggak ada apa-apanya.”

Ia menatapku sendu.

Sebenarnya aku dan suamiku berasal dari keluarga yang cukup berada. Hanya saja mungkin itu masalah harga diri bagi kaum lelaki, aku juga tidak begitu mengerti.

Di tengah kekhawatirannya itu ku katakan padanya, ”Abang... asalkan ada ember biar adek bisa nyuciin baju abang, asal ada paku dan tali biar adek bisa ngejemur, asal ada api biar adek bisa masak buat abang, asal ada alas buat kita tidur, asal ada kain buat nutup jendela, asal ada sapu biar rumah kita tetap bersih, asal cukup air, asal bisa beli bayam dan tempe, dan selang sehari kita shaum... insya Allah, itu bukan masalah bagi adek.”

Ia tersenyum, masih dengan tatapan yang sendu itu. Hhh... aku jadi sedih. Sejak ta’aruf dulu, dia telah mengatakan segala kemungkinan hidup kita nanti. Dan aku telah menyatakan kesiapanku... insya Allah, aku sanggup menghadapi apapun... bersamanya...

Esok harinya kamipun pindah. Selama seminggu itu aku memang tak diizinkannya untuk melihat kontrakan itu. Dan saat aku sampai di sana... Subhanallah, ruang tamu mungil dengan perabotan terbuat dari rotan yang cukup untuk diduduki empat orang saja. Rak buku yang biasa kulihat di rumahku menjadi penghalang ruang tamu dengan ruang makan. Rak buku itu memang dibuatkan khusus oleh ayahku untukku. Beliau tahu hobiku membaca buku. Wah, pantas saja aku tak melihat rak itu di rumah akhir-akhir ini.

Aku melihat-lihat seluruh rumah itu. Ruang makan yang sederhana hanya tersedia dua bangku di situ dengan meja kecil yang cukup untuk makan kita berdua saja. Di kamar tidur ternyata telah ada sebuah tempat tidur, lemari baju dan meja hias. Di sebelah kamar itu ada ruang kosong, untuk kamar anak-anak kelak. Di dapur telah ada peralatan masak hadiah dari ibuku dan ibu mertuaku. Di bagian belakang rumah itu ada kamar mandi. Di luarnya telah ada sapu ijuk dan sapu lidi plus tempat sampah. Di tempat mencuci telah ada ember dan gayung.

Semua jendela telah berkordin.

Belum sempat aku mengomentari rumah itu, suamiku berkata, ”Dek, abang lupa beli tali sama paku buat jemuran.”

Hi hi hi. Aku tertawa cekikikan. ”Adek kira rumahnya bener-bener kosong nggak ada apa-apanya.”

”Yaaah... maksud abang gak ada apa-apanya dibandingin rumah adek.”

Hi hi hi... abang.

Dulu yang kupinta pada Allah adalah hanya seorang suami seperti abang, yang sholih, yang mau usaha, yang optimis, tawakal. Jadi di manapun kita tinggal, seperti apapun keadaanya, sekurang apapun fasilitasnya, asalkan
ada abang... hidupku udah lengkap.

Princess LL

(untuk pangeranku, datanglah pada ayahku dan jabatlah tangan beliau. Katakanlah dengan bangga ”Sir, your daughter is in a good hand, insya Allah.”)
wife_wannabe@eramuslim.com

"Ibu, I Miss You So Much"

"Ibu, I Miss You So Much"

Hukum kekekalan energi dan semua agama menjelaskan bahwa apapun yang
kita lakukan pasti akan dibalas sempurna kepada kita.
Apabila kita melakukan energi positif atau kebaikan maka kita akan
mendapat balasan berupa kebaikan pula. Begitu pula bila kita
melakukan energi negatif atau keburukan maka kitapun akan mendapat
balasan berupa keburukan pula. Kali ini izinkan saya menceritakan
sebuah pengalaman pribadi yang terjadi pada 2003.

Pada September-Oktober 2003 isteri saya terbaring di salah satu rumah
sakit di Jakarta. Sudah tiga pekan para dokter belum mampu mendeteksi
penyakit yang diidapnya. Dia sedang hamil 8 bulan. Panasnya sangat
tinggi. Bahkan sudah satu pekan isteri saya telah terbujur di ruang
ICU. Sekujur tubuhnya ditempeli kabel-kabel yang tersambung ke sebuah
layar monitor.

Suatu pagi saya dipanggil oleh dokter yang merawat isteri saya.
Dokter berkata, "Pak Jamil, kami mohon izin untuk mengganti obat ibu".
Sayapun menjawab "Mengapa dokter meminta izin saya?Bukankan setiap
pagi saya membeli berbagai macam obat di apotek dokter tidak meminta
izin saya" Dokter itu menjawab "Karena obat yang ini mahal Pak
Jamil." "Memang harganya berapa dok?" Tanya saya. Dokter itu dengan
mantap menjawab "Dua belas juta rupiah sekali suntik." "Haahh 12 juta
rupiah dok, lantas sehari berapa kali suntik, dok? Dokter itu
menjawab, "Sehari tiga kali suntik pak Jamil".

Setelah menarik napas panjang saya berkata, "Berarti satu hari tiga
puluh enam juta, dok?" Saat itu butiran air bening mengalir di pipi.
Dengan suara bergetar saya berkata, "Dokter tolong usahakan sekali
lagi mencari penyakit isteriku, sementara saya akan berdoa kepada Yang
Maha Kuasa agar penyakit istri saya segera ditemukan." "Pak Jamil
kami sudah berusaha semampu kami bahkan kami telah meminta bantuan
berbagai laboratorium dan penyakit istri Bapak tidak bisa kami
deteksi secara tepat, kami harus sangat hati-hati memberi obat karena
istri Bapak juga sedang hamil 8 bulan, baiklah kami akan coba satu
kali lagi tapi kalau tidak ditemukan kami harus mengganti obatnya,
pak." jawab dokter.

Setelah percakapan itu usai, saya pergi menuju mushola kecil dekat
ruang ICU. Saya melakukan sembahyang dan saya berdoa, "Ya Allah Ya
Tuhanku... aku mengerti bahwa Engkau pasti akan menguji semua hamba-
Mu, akupun mengerti bahwa setiap kebaikan yang aku lakukan pasti
akan Engkau balas dan akupun mengerti bahwa setiap keburukan yang
pernah aku lakukan juga akan Engkau balas. Ya Tuhanku... gerangan
keburukan apa yang pernah aku lakukan sehingga Engkau uji aku dengan
sakit isteriku yang berkepanjangan, tabunganku telah terkuras, tenaga
dan pikiranku begitu lelah. Berikan aku petunjuk Ya Tuhanku. Engkau
Maha Tahu bahkan Engkau mengetahui setiap guratan urat di leher
nyamuk. Dan Engkaupun mengetahui hal yang kecil dari itu. Aku pasrah
kepada Mu Ya Tuhanku. Sembuhkanlah istriku. Bagimu amat mudah
menyembuhkan istriku, semudah Engkau mengatur milyaran planet di
jagat raya ini."

Ketika saya sedang berdoa itu tiba-tiba terbersit dalam ingatan akan
kejadian puluhan tahun yang lalu. Ketika itu, saya hidup dalam
keluarga yang miskin papa. Sudah tiga bulan saya belum membayar biaya
sekolah yang hanya Rp. 25 per bulan. Akhirnya saya memberanikan diri
mencuri uang ibu saya yang hanya Rp. 125. Saya ambil uang itu, Rp 75
saya gunakan untuk mebayar SPP, sisanya saya gunakan untuk jajan.

Ketika ibu saya tahu bahwa uangnya hilang ia menangis sambil terbata
berkata, "Pokoknya yang ngambil uangku kualat... yang ngambil uangku
kualat..." Uang itu sebenarnya akan digunakan membayar hutang oleh
ibuku. Melihat hal itu saya hanya terdiam dan tak berani mengaku
bahwa sayalah yang mengambil uang itu.

Usai berdoa saya merenung, "Jangan-jangan inilah hukum alam dan
ketentuan Yang Maha Kuasa bahwa bila saya berbuat keburukan maka saya
akan memperoleh keburukan. Dan keburukan yang saya terima adalah
penyakit isteri saya ini karena saya pernah menyakiti ibu saya dengan
mengambil uang yang ia miliki itu." Setelah menarik nafas panjang
saya tekan nomor telepon rumah dimana ibu saya ada di rumah menemani
tiga buah hati saya. Setelah salam dan menanyakan kondisi anak-anak di
rumah, maka saya bertanya kepada ibu saya "Bu, apakah ibu ingat
ketika ibu kehilangan uang sebayak seratus dua puluh lima rupiah
beberapa puluh tahun yang lalu?"

"Sampai kapanpun ibu ingat Mil. Kualat yang ngambil duit itu Mil,
duit itu sangat ibu perlukan untuk membayar hutang, kok ya tega-
teganya ada yang ngambil," jawab ibu saya dari balik telepon.
Mendengar jawaban itu saya menutup mata perlahan, butiran air mata
mengalir di pipi.

Sambil terbata saya berkata, "Ibu, maafkan saya... yang ngambil uang
itu saya, bu... saya minta maaf sama ibu. Saya minta maaaaf... saat
nanti ketemu saya akan sungkem sama ibu, saya jahat telah tega sama
ibu." Suasana hening sejenak. Tidak berapa lama kemudian dari balik
telepon saya dengar ibu saya berkata: "Ya Tuhan pernyataanku aku
cabut, yang ngambil uangku tidak kualat, aku maafkan dia. Ternyata
yang ngambil adalah anak laki-lakiku. Jamil kamu nggak usah pikirin
dan doakan saja isterimu agar cepat sembuh." Setelah memastikan bahwa
ibu saya telah memaafkan saya, maka saya akhiri percakapan dengan
memohon doa darinya.

Kurang lebih pukul 12.45 saya dipanggil dokter, setibanya di ruangan
sambil mengulurkan tangan kepada saya sang dokter berkata "Selamat
pak, penyakit isteri bapak sudah ditemukan, infeksi pankreas. Ibu
telah kami obati dan panasnya telah turun, setelah ini kami akan
operasi untuk mengeluarkan bayi dari perut ibu." Bulu kuduk saya
merinding mendengarnya, sambil menjabat erat tangan sang dokter saya
berkata. "Terima kasih dokter, semoga Tuhan membalas semua kebaikan
dokter."

Saya meninggalkan ruangan dokter itu.... dengan berbisik pada diri
sendiri "Ibu, I miss you so much."

Sumber: "Ibu, I Miss You So Much" oleh Jamil Azzaini, Senior Trainer
dan penulis buku Best Seller 'KUBIK LEADERSHIP; Solusi Esensial
Meraih Sukses dan Kemuliaan Hidup'.